OPINI

Menggugah Kesadaran tentang Kelaparan dan Kasih-Nya , Thread Twitter (X): @adeirra

57
×

Menggugah Kesadaran tentang Kelaparan dan Kasih-Nya , Thread Twitter (X): @adeirra

Sebarkan artikel ini

1/ “Jika Allah Maha Mencukupi, lalu mengapa masih ada orang yang kelaparan? Bukankah kasih-Nya meliputi segala?”

 

Pertanyaan ini muncul dari seorang anak filsafat bernama Naufal Ar-Rawi. Di usia 15 tahun, Naufal adalah seorang pemikir muda yang penuh rasa ingin tahu, hidup berdua dengan ibunya.

 

2/ Setiap ucapannya terasa seperti kutipan dari kitab-kitab samawi. Ketika melihat hujan, ia bertanya, “Apakah hujan adalah cara langit menangis menyaksikan manusia yang bengis?”

 

3/ Namun, sore itu, saat pulang dari mengaji, Naufal melihat seorang kakek bersandar di bawah pohon. Kakek itu tampak lusuh, lelah, dan matanya memohon tanpa suara, seakan berkata, “Perutku lapar, berilah aku makanan.”

 

4/ Naufal menghentikan langkahnya, tatapannya memerhatikan dari jauh. Hatinya bergumam, “Mengapa kakek itu melihatku? Apa yang dia harapkan dariku?”

 

5/ “Assalamu’alaikum, Tuan,” ucap Naufal pelan. Kakek itu menjawab, “Wa’alaikumussalam, wahai yang dimuliakan Allah. Sungguh, aku tidak mengenalmu, Nak. Badanku gemetar karena lelahnya tiga hari perjalanan.”

 

6/ Kakek itu melanjutkan, “Perut menggoyang iman, menuntut makanan. Hatiku menangis, menahan diri dari mengemis.” Hati Naufal kini gaduh. “Ada apa dengan dunia ini? Tidakkah Allah itu Maha Memelihara dan Mencukupi?”

 

7/ Dengan pikiran yang berkecamuk, Naufal berlari meninggalkan kakek itu, pulang dengan sorot mata penuh amarah dan kebingungan.

 

8/ Aroma roti menyambut kedatangannya. Ibunya telah mempersiapkan makan malam. “Bu, jika Tuhan itu Maha Memelihara, lalu mengapa ada manusia yang tidak memiliki makanan?” tanya Naufal.

 

9/ Sang ibu tertegun, lalu berkata, “Hai, Nak, bagaimana mengajimu sore ini? Adakah pelajaran yang kau pahami dari ajaran kyai? Pergilah ke belakang, cucilah tangan dan kakimu, lalu duduklah bersama ibu.”

 

10/ Naufal mengangguk dan segera kembali duduk di hadapan ibunya. Sang ibu memerhatikan wajah polos anaknya, bergumam, “Ada apa dengan anak ini? Pertanyaannya lebih jujur daripada doa orang dewasa.”

11/ “Wahai anakku, apakah engkau lapar?” tanya ibunya. “Tadi aku lapar, namun sekarang tidak lagi, Bu. Aku kehilangan selera makan karena pertanyaan dalam hatiku,” jawab Naufal.

 

12/ Sang ibu menunjukkan roti hangat di meja. “Tidakkah engkau melihatnya sebagai anugerah dari Allah?” Naufal mengangguk. “Apakah roti ini cukup untuk kita berdua?”

 

13/ “Lebih dari cukup, Bu. Kita tidak akan mampu menghabiskannya,” jawab Naufal. Sang ibu melanjutkan, “Bagaimana jika kita menjadi tamak dan menyimpan roti ini untuk diri sendiri?”

 

14/ Naufal mulai mengernyitkan dahinya. “Roti ini adalah manifestasi kasih Allah. Ia harus dibagikan, seperti aliran sungai yang tidak boleh terhenti.”

 

15/ “Wahai Naufal, setiap makhluk dipelihara dan dicukupi oleh-Nya. Bukan Allah yang tidak mencukupi, tetapi manusia yang enggan berbagi.”

 

16/ “Allah tidak pernah menahan rezeki-Nya. Namun, manusia sering kali membangun tembok kekikiran demi kepentingan diri sendiri.”

 

17/ Sang ibu melanjutkan, “Adanya orang-orang yang lapar adalah undangan-Nya agar kita menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya.”

 

18/ “Ketika kita memberi, kita tidak hanya memberi roti, tetapi juga memperkenalkan Allah kepada mereka yang lapar. Setiap roti yang dibagi adalah kebaikan Ilahi.”

 

19/ Naufal terdiam, memandangi roti-roti itu. Ia kini memahami bahwa keburukan tidak selalu jatuh dari langit yang muram, tetapi lahir dari bumi yang enggan berbagi.

20/ “Bu, bolehkah aku menjadi manifestasi sifat Allah yang Maha Pemberi?” pinta Naufal. “Aku ingin membagikan roti ini kepada kakek tua yang kutemui.”

21/ Sang ibu tersenyum lembut, menyerahkan kantong kain. “Bergegaslah, anakku. Penuhi kantongnya dengan roti dan susu untuk kakek itu.”

 

22/ Seperti utusan kebahagiaan, Naufal bergegas pergi. Sepanjang perjalanan, ia menatap senja dengan penuh semangat, seolah langit pun bersaksi atas kebangkitan nurani seorang filsuf kecil.

 

23/ Naufal kini tidak hanya melihat roti sebagai makanan, tetapi sebagai makna. Ini adalah pertama kalinya ia merasakan kenyang, bukan di perut, tetapi di jiwanya.

 

24/ Keberkahan tidak hanya datang kepada yang menerima, tetapi juga yang memberi. Mari kita renungkan bersama, adakah kita cukup peduli untuk berbagi, atau hanya menjadi penumpuk “roti”?

 

25/ Allahumma Sholli `ala Sayyidina Muhammad. CahayaZakat Berbagi Kemanusiaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!